Oleh : Syahrir
Rumagorong, S.Pd.I *
Keberhasilan beberapa Perguruan Tinggi Swasta
(PTS) mewisuda Tenaga Guru (TG) dan Tenaga Kependidikan (TK) di Kota Tual
menjadi indikator kuantitas lulusan yang terus bertambah dari tahun ke tahun.
Disatu sisi, keberhasilan ini patut dipuji karena PTS bersangkutan telah turut
serta mencerdaskan anak bangsa, walaupun terkadang harus bekerja keras dengan
tenaga dan peralatan sendiri (baca modal), namun di sisi yang lain semangat
tinggi ini perlu didiskusikan dengan baik sehingga out put dari lembaga PTS
terkait bisa menghasilkan TG dan TK yang berkualitas siap jual kepada
masyarakat, bukan sebaliknya menghasilkan volume lulusan yang tinggi tetapi
kalah saing (tidak berkualitas) dan akhirnya jadi penonton di tengah meledaknya
peluang pasar terhadap TG dan TK.
Tulisan ini tidak bermaksud menyepelekan peran PTS yang memproduk TG dan TK di daerah ini, melainkan semata-mata sebagai bentuk keprihatinan terhadap kesenjangan yang terjadi, antara das sein dan das sollen yang semakin terpisah jauh, antara fakta pendidikan dengan visi pendidikan yang seharusnya kita capai dengan membludaknya lulusan TG dan TK itu. Ada indikasi tidak sehat, ketika lembaga penghasil TG dan TK tidak menerapkan balance system dalam mengelola proses in put sehingga out put yang diberikan PTS terkait cenderung ditolak pasar atau tidak diminati masyarakat.
Tulisan ini tidak bermaksud menyepelekan peran PTS yang memproduk TG dan TK di daerah ini, melainkan semata-mata sebagai bentuk keprihatinan terhadap kesenjangan yang terjadi, antara das sein dan das sollen yang semakin terpisah jauh, antara fakta pendidikan dengan visi pendidikan yang seharusnya kita capai dengan membludaknya lulusan TG dan TK itu. Ada indikasi tidak sehat, ketika lembaga penghasil TG dan TK tidak menerapkan balance system dalam mengelola proses in put sehingga out put yang diberikan PTS terkait cenderung ditolak pasar atau tidak diminati masyarakat.
Bahkan dalam kasus paling ironis mungkin adalah hilangnya minat daya pikat
manusiawi (humman interest) TG dan TK untuk dapat mempertanggungjawabkan gelar
profetik mereka sebagai tenaga pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Kesan
ini semakin memperpuruk dunia pendidikan di Kota ini dan secara tidak sadar
telah menyeret wacana pendidikan kita dari wilayah konservatif menuju areal
pragmatis apatis yang rentan terhadap politik modal dan kekuasaan. Dalam metode
survey kualitatif, biasanya ada model sampel sederhana yang bisa dijadikan alat
ukur untuk mengetahui persis seperti apa prototype Perguruan Tinggi
Kependidikan (PTK) yang jadi pabrik industrinya TG dan TK di daerah ini.
Biasanya, dari out put yang dihasilkan bisa menjadi indikator awal untuk
menarik kesimpulan sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan itu.
Jika kualitas
PTK bernilai A maka kualitas TG dan TK juga bernilai A, inilah jawaban ideal
yang diharapkan oleh berbagai pihak, akan tetapi, jika kualitas TG dan TK
bernilai E, maka apakah mungkin PTKnya bernilai A? Sebuah pertanyaan yang harus
diulas dengan jujur tanpa melibatkan kepentingan pragmatis matrialistis semata.
Politik pendidikan perlu diluruskan dari kancah kepentingan modal kepada
profetik keilmuan (baca kenabian) yang menjunjung tinggi ilmu dalam bingkai
moralitas ilmu itu sendiri. Jati diri TG dan TK harus dibangun di atas dasar
moralitas pendidik, bukan dibangun pada wilayah abu-abu, yang antara menjadi TG
dan TK tidak menghasilkan sebuah kebanggaan pribadi seperti yang kita saksikan
saat ini, dimana kebanyakan out put TG dan TK lebih enjoy memilih jadi buruh
bangunan daripada menjadi seorang pendidik.
Ada apa dengan landasan teoritis
yang diterima TG dan TK kita di PTK yang memproses mereka selama ini? Mengapa
mereka tidak mencerminkan diri sebagai lulusan yang membanggakan almamaternya,
malahan justru mempermalukan PTK terkait dengan menampilkan prilaku kebalikan
sebagai TG dan TK? Ataupun jika ada sebagian kecil yang bisa direkrut dalam
jaringan kepegawaiaan daerah ((karena barter politik, mungkin?), bisa
menunjukkan kualitas yang tidak menggembirakan. Mengapa ini mesti terjadi? Ada
beberapa studi komparasi untuk dapat memperbaiki kondisi ini, pertama; Pemda
Kota Tual jangan lepas perhatian dan peran serta kepada PTK terkait.
Pemkot
Tual berkewajiban untuk mengarahkan sekaligus menyediakan sarana dan prasarana
memadai untuk mematangkan pembentukan karakter SDM TG dan TK ini ke arah lebih
baik (Bukankah kelak sebagian lusannya dipakai juga oleh Pemkot?).
Kota Tual
mungkin bisa meniru Pemkot Ternate dalam hal ini, dimana Kota yang dijuluki
sebutan madani itu setiap tahun menyediakan beasiswa S2 bahkan S3 untuk Tenaga
Guru dan Tenaga Dosen (TG) di wilayah itu.
Mereka dikirim ke luar daerah, ke
Jawa, Makassar, Sumatera dan lain-lain untuk menekuni bidang-bidang tertentu
sesuai dengan bidang untuk selanjutnya mereka kembali membangun negeri para
bobato dan kolano itu ke arah lebih baik. Hasilnya, Kota Ternate dewasa ini
telah memiliki TG da TK yang rata-rata berlatar belakang pendidikan pasca
sarjana. Kondisi ini semakin memperbaiki kualitas SDM masyarakat dari tahun ke
tahun.
Mengapa Pemkot Tual tidak melakukan hal serupa? Kedua; PTK atau PTS terkait yang orientasinya menghasilkan TG dan TK agar menyiapkan infrastruktur dengan memadai, terutama dalam hal tenaga pengajar. Jangan lagi ada kasus S1 mengajari S1, atau sebaliknya insan PTS jagan hanya merasa cukup dengan kondisi yang ada.
Perlu ada inovasi baru untuk semakin mempersegar wilayah keilmuan dengan menjamurnya kajian-kajian imiah, membentuk forum-forum intelektual, dan memperbanyak karya-karya monumental di bidang keilmuan sebagai sumbangsih untuk daerah dan bangsa seperti menulis buku, opini, artikel yang diajukan ke penerbit-penerbit lokal maupun nasional sehingga semakin memperkaya warna intelektual.
Jika ini berhasil dilakukan oleh PTK (PTS) terkait, maka bukan tidak mungkin akan mengundang perhatian berbagai pihak untuk turut berandil dalam memajukan warna pendidikan yang diampunya.
Minimnya perhatian Pemda mungkin salah satunya disebabkan karena melempemnya warna dan peran intelektual PTK yang tidak mampu menjawab tantangan itu. Adalah sebuah pekerjaan berat untuk mengatasi semua ini, akan tetapi bukan tidak mungkin dengan berbekal niat yang tulus dan kemauan yang kuat didukung kepribadian yang shaleh PTS unggulan akan terlahir dari PTK yang secara professional mempraktekkan iklim intelektual seperti ini di lingkungannya.
Mengapa Pemkot Tual tidak melakukan hal serupa? Kedua; PTK atau PTS terkait yang orientasinya menghasilkan TG dan TK agar menyiapkan infrastruktur dengan memadai, terutama dalam hal tenaga pengajar. Jangan lagi ada kasus S1 mengajari S1, atau sebaliknya insan PTS jagan hanya merasa cukup dengan kondisi yang ada.
Perlu ada inovasi baru untuk semakin mempersegar wilayah keilmuan dengan menjamurnya kajian-kajian imiah, membentuk forum-forum intelektual, dan memperbanyak karya-karya monumental di bidang keilmuan sebagai sumbangsih untuk daerah dan bangsa seperti menulis buku, opini, artikel yang diajukan ke penerbit-penerbit lokal maupun nasional sehingga semakin memperkaya warna intelektual.
Jika ini berhasil dilakukan oleh PTK (PTS) terkait, maka bukan tidak mungkin akan mengundang perhatian berbagai pihak untuk turut berandil dalam memajukan warna pendidikan yang diampunya.
Minimnya perhatian Pemda mungkin salah satunya disebabkan karena melempemnya warna dan peran intelektual PTK yang tidak mampu menjawab tantangan itu. Adalah sebuah pekerjaan berat untuk mengatasi semua ini, akan tetapi bukan tidak mungkin dengan berbekal niat yang tulus dan kemauan yang kuat didukung kepribadian yang shaleh PTS unggulan akan terlahir dari PTK yang secara professional mempraktekkan iklim intelektual seperti ini di lingkungannya.
PTS wajib menata lingkungannya dengan berkaca
kepada yang telah maju. Penataan ini dilakukan terutama dalam hal penciptkaan
lingkungan PT yang rasional, berkarakter, berdaya saing tinggi dan kompetitif
atau dalam istilah kebanyakan berhasil guna dan berdaya guna.
Perlu didukung tenaga pengajar yang profesional di bidangnya, managemen kelola anggaran yang terbuka dan akuntabel, layanan kampus yang demokratis serta penyiapan sarana perpustakaan yang memadai.
Jika PTS sudah melakukan semua ini dengan baik, berarti telah memenuhi syarat-syarat untuk menghasilkan out put yang berkualitas tinggi yang akan direbut oleh pasaran dunia pendidikan, bahkan bisa saja out put PTS ini akan menjadi pelopor berdirinya sekolah-sekolah demokratis model terbaru yang justru lebih dibutuhkan oleh masyarakat di daerah ini.
Perlu didukung tenaga pengajar yang profesional di bidangnya, managemen kelola anggaran yang terbuka dan akuntabel, layanan kampus yang demokratis serta penyiapan sarana perpustakaan yang memadai.
Jika PTS sudah melakukan semua ini dengan baik, berarti telah memenuhi syarat-syarat untuk menghasilkan out put yang berkualitas tinggi yang akan direbut oleh pasaran dunia pendidikan, bahkan bisa saja out put PTS ini akan menjadi pelopor berdirinya sekolah-sekolah demokratis model terbaru yang justru lebih dibutuhkan oleh masyarakat di daerah ini.
Editor : Ridwan Kalengkongan